Sampah
Dalam
postingan kali ini mengangkat tema tentang belajar mengolah sampah dari Negara
lain yang berhasil mengolah sampah tidak hanya mengurangi pencemaran terhadap
lingkungan, emisi gas rumah kaca dan dampak lainnya yang ditimbulkan dari
sampah yang dihasilkan setiap harinya, dan apabila sampah tersebut bisa diolah
dengan baik maka banyak manfaat yang didapatkan, tapi untuk menggapai semua itu
tidak hanya peran dari pemerintah semata tetapi semua pihak harus sadar terhadap
lingkungan disekitarnya dan biasakan diri untuk membuang sampah pada tempatnya.
Berikut
ini sumber dari DR. arifin Zulkifli seorang Consultan Lingkungan dan Energi
dalam blognya, bagaimana cara dan kebijakan Negara lain dalam mengolah sampah
atau Rubbish Management In South Korea, Holland, Konungariket Sverige, Austri,
Germany And Egypth
1. Korea
Menurut
laporan UNEP Green Economy, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Korea
dengan berbagai kebijakannya, berhasil menggalakkan program daur ulang di
Negeri Ginseng itu sekaligus menciptakan ribuan lapangan kerja baru. Hal
tersebut dilakukan pemerintah demi menciptakan masyarakat yang mampu
memanfaatkan kembali sumber daya (Resource Recirculation Society). Kebijakan
“Extended Producer Responsibility” (EPR) dari pemerintah mewajibkan perusahaan
dan importir untuk mendaur ulang sebagian dari produk mereka. (EPR) adalah
suatu strategi yang dirancang untuk mempromosikan integrasi semua biaya yang
berkaitan dengan produk-produk mereka di seluruh siklus hidup (termasuk
akhir-of-pembuangan biaya hidup) ke dalam pasar harga produk. Tanggung jawab
produser diperpanjang dimaksudkan untuk menentukan akuntabilitas atas seluruh
Lifecycle produk dan kemasan diperkenalkan ke pasar. Ini berarti perusahaan
yang manufaktur, impor dan / atau menjual produk diminta untuk bertanggung
jawab atas produk mereka berguna setelah kehidupan serta selama manufaktur.
Prinsip pengotor membayar – prinsip pengotor membayar adalah prinsip di mana
pihak pencemar membayar dampak akibatnya ke lingkungan. Sehubungan dengan
pengelolaan limbah, ini umumnya merujuk kepada penghasil sampah untuk membayar
sesuai dari pembuangan.
2.
Belanda
Sementara
itu di Eropa dalam mengatasi masalah sampah ini, Komisi Eropa telah membuat
panduan dasar pengelolaan sampah yang diperuntukkan untuk negara-negara
anggotanya, seperti Belanda, Swedia dan Jerman. Dalam penyusunan panduan itu
melibatkan pemerintah, pengusaha, dan rakyat masing-masing negara. Lalu,
Kebijaksanaan Eropa itu kemudian diterjemahkan oleh parlemen negara
masing-masing ke dalam perundang-undangan domestik, yang berlaku buat
pemerintah pusat hingga daerah. Sampai dengan abad ke-17 penduduk Belanda
melempar sampah di mana saja sesuka hati. Di abad berikutnya sampah mulai
menimbulkan penyakit, sehingga pemerintah menyediakan tempat-tempat pembuangan
sampah. Di abad ke-19, sampah masih tetap dikumpulkan di tempat tertentu, tapi
bukan lagi penduduk yang membuangnya, melainkan petugas pemerintah daerah yang
datang mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20 sampah yang
terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, melainkan dibakar.
Kondisi pengelolaan sampah di Negeri Kincir Angin (Belanda) saat itu kira-kira
sama seperti di Indonesia saat ini.
Di
Belanda, mereka memisahkan sampah menjadi: sampah organik, sampah yang bisa
didaur ulang, sampah yang tidak berbahaya bila dibakar, dan sampah yang
berbahaya/beracun. Pemerintah Belanda menyediakan tempat2 sampah sesuai
jenisnya, sehingga memudahkan dinas pengelolaan sampah untuk mengolahnya.
Sampah organik seperti sisa makanan ataupun daun2an kemudian diproses menjadi
pupuk kompos. Sampah2 seperti kertas, kaca, dan logam bisa didaur ulang
kembali. Sedangkan sampah2 yang tidak berbahaya dibakar untuk kemudian bisa
membangkitkan pembangkit listrik tenaga uap (ini bisa jadi solusi buat PLN yang
katanya lagi krisis energi). Sedangkan sampah2 berbahaya seperti batu baterai dan
aki di karantina karena berbahaya bagi lingkungan (sanitary landfill)
3.
Swedia
Pengelolaan
sampah di Swedia selalu mengedepankan bahwa sampah merupakan salah satu
resources yang dapat digunakan sebagai sumber energi. dasar pengelolaan sampah
diletakkan pada minimasi sampah dan pemanfaatan sampah sebagai sumber energi.
Keberhasilan penanganan sampah itu didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat
yang sudah sangat tinggi. Landasan kebijakan Swedia, senyawa beracun yang
terkandung dalam sampah harus dikurangi sejak pada tingkat produksi. Minimasi
jumlah sampah dan daur ulang ditingkatkan. Pembuangan sampah yang masih
memiliki nilai energi dikurangi secara signifikan. Sehingga, kebijaksanaan
pengelolaan sampah swedia antara lain meliputi: Pengurangan volume sampah yang
dibuang ke TPA harus berkurang sampai dengan 70 % pada tahun 2015. Sampah yang
dapat dibakar (combustible waste) tidak boleh dibuang ke TPA sejak tahun 2002.
Sampah organik tidak boleh dibuang ke TPA lagi pada tahun 2005. Tahun 2008
pengelolaan lokasi landfill harus harus sesuai dengan ketentuan standar
lingkungan. Pengembangan teknologi tinggi pengolahan sampah untuk sumber energi
ditingkatkan.
Kebijakan
pemerintah dan budaya masyarakat yang mengerti arti kebersihan dan energi,
membuat Swedia menjadi negara maju dalam pengelolaan sampah. Dalam data
statistik Eurostat, rata-rata jumlah sampah yang menjadi limbah di
negara-negara Eropa adalah 38 persen. Swedia berhasil menekan angka itu menjadi
hanya satu persen.Swedia, negara terbesar ke-56 di dunia, dikenal memiliki
manajemen sampah yang baik. Mayoritas sampah rumah tangga di negara Skandinavia
itu bisa didaur ulang atau digunakan kembali. Satu-satunya dampak negatif dari
kebijakan ini adalah Swedia kini kekurangan sampah untuk dijadikan bahan bakar
pembangkit energinya. Swedia kini mengimpor 800 ribu ton sampah per tahun
dari negara-negara tetangganya di Eropa. Mayoritas sampah ini berasal dari
Norwegia. Sampah-sampah ini sekaligus untuk memenuhi program
Sampah-Menjadi-Energi (Waste-to-Energy) di Swedia. Dengan tujuan utama mengubah
sampah menjadi energi panas dan listrik.
Norwegia,
sebagai negara pengekspor, bersedia dengan perjanjian ini karena dianggap lebih
ekonomis dibanding membakar sampah yang ada. Namun, dalam rencana perjanjian
disebutkan, sampah beracun, abu dari proses kremasi, atau yang penuh dengan
dioksin, akan dikembalikan ke Norwegia. Sedangkan bagi Swedia, mengimpor
sampah adalah pemikiran maju dalam hal efisiensi dan suplai energi bagi
kebutuhan manusia. Membakar sampah dalam insinerator mampu menghasilkan panas.
Di mana energi panas ini kemudian didistribusikan melalui pipa ke wilayah
perumahan dan gedung komersial. Energi ini juga mampu menghasilkan listrik bagi
rumah rakyatnya. Dikatakan oleh Catarina Ostlund, Penasihat Senior untuk
Swedish Environmental Protection Agency, kebijakan ini bisa meningkatkan nilai
dari sampah di masa depan. “Mungkin Anda bisa menjual sampah karena ada krisis
sumber daya di dunia,” ujar Ostlund. Sesudah Norwegia, Swedia menargetkan
mengimpor sampah dari Bulgaria, Rumania, dan Italia. Selain membantu Swedia
dalam menyediakan sumber energi, impor sampah ini juga menjadi solusi
pengelolaan sampah bagi negara-negara pengekspornya. (Zika Zakiya. Sumber:
Phys.org)
4.
Austria
Kelompok
statistik Uni Eropa Eurostat telah mengumumkan nama negara yang melakukan daur
ulang paling sukses pada 2009, yaitu Austria. Menurut statistic Eurostat itu,
tidak kurang dari 70 persen limbah dari rumah tangga didaur ulang atau
dijadikan kompos di Austria. Usaha pengomposan itu menempati tingkat pertama di
atas 26 negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di Inggris, sebagai
perbandingan, bisa dikatakan Negara yang terburuk dalam melakukan daur ulang.
Karena negara itu hanya 26 persen saja dan menempati posisi akhir dari
statistik itu. Laporan Eurostat itu menampilkan data khususnya soal limbah
yang dihasilkan Negara-negara di Uni Eropa. Secara per kapita, penduduk Eropa
menghasilkan rata-rata 513 kg limbah rumah tangga selama tahun 2009. Rata-rata
ini adalah tingkat tertinggi, sementara angka limbah rumah tangga tertinggi
dihasilkan oleh Denmark dengan 833 kg dan yang terrendah adalah Republik Ceko
dengan 316 kg limbah. Di Eropa limbah yang dihasilkan oleh warganya
rata-rata 504 kg per hari. Dari jumlah itu, 38 % dibuang ke TPA, 24 % didaur
ulang, 20 % diinsinerasi dan 18 % diubah menjadi kompos.
5.
Jerman
Sejak
1972 pemerintah Jerman melarang sistem sanitary landfill, karena terbukti
selalu merusak tanah dan air tanah. Bagaimanapun sampah merupakan campuran
segala macam barang (tidak terpakai) dan hasil reaksi campurannya seringkali
tidak pernah bisa diduga akibatnya. Pada beberapa TPA atau instalasi daur ulang
selalu terdapat pemeriksaan dan pemilahan secara manual. Hal ini untuk
menghindari bahan berbahaya tercampur dalam proses, seperti misalnya baterei
dan kaleng bekas oli yang dapat mencemari air tanah. Sampah berbahaya ini harus
dibuang dan dimusnahkan dengan cara khusus. Di Jerman terdapat perusahaan
yang menangani kemasan bekas (plastik, kertas, botol, metal dsb) di seluruh
negeri, yaitu DSD/AG (Dual System Germany Co). DSD dibiayai oleh
perusahaan-perusahaan yang produknya menggunakan kemasan. DSD bertanggung jawab
untuk memungut, memilah dan mendaur ulang kemasan bekas.
Berbeda
dengan kondisi Jerman 30 tahun silam, terdapat 50.000 tempat sampah yang tidak
terkontrol, tapi kini hanya 400 TPA (Tempat Pembuangan Akhir). 10-30 % dari
sampah awal berupa slag yang kemudian dibakar di insinerator dan setelah ionnya
dikonversikan, dapat digunakan untuk bahan konstruksi jalan. Cerita menarik
proses daur ulang ini datangnya dari Passau Hellersberg adalah sampah organik
yang dijadikan energi. Produksi kompos dan biogas ini memulai operasinya tahun
1996. Sekitar 40.000 ton sampah organik pertahun selain menghasilkan pupuk
kompos melalui fermentasi, gas yang tercipta digunakan untuk pasokan listrik
bagi 2.000 – 3.000 rumah.
6.
Mesir
Sampah
yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau
didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur
seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang
produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut.
Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah. Pembuangan sampah
yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih
bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari
bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan
kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah
yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang
untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem
daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan. Program-program sampah
kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin
dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara
berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah
berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi
fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau
pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang
ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam
sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah
zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan
daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang
terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara
atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan
komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota.
Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan
dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan
nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang
masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis
dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih
banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan
menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
Referensi :
http://www.bangazul.com/belajar-mengelola-sampah-dari-negara-lain-1/#comment-15475