Hambatan aksesibilitas masyarakat
terhadap hak keadilan perdata
Fajri
Matahati Muhammadin
Risky
Wirastomo
Tata
Wijayanta
Fakultas
Huku Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Jl.
Sosio Justicia Bulaksumur Yogyakarta
Hak Akses ke Keadilan Merupakan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok
yang dibawa manusia sejak lahir. Hak asasi
ini menjadi dasar penentuan
hak dan kewajiban bagi
orang lain, sebagaimana diungkapkan juga
dalam United Nations Declarations of Human Rights (selanjutnya, UNDHR) dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Dari perspektif
lain, kehadiran tentara dan polisi untuk menjaga keamanan dan perdamaian baik di dalam maupun luar negeri juga merupakan bentuk
perwujudan pemenuhan hak asasi manusia masyarakat.
Undang Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 telah mengatur hak
untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam Pasal 28D ayat. Di level statutory
regulation, Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 mengatur bahwa “setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian
hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”, “setiap orang diakui sebagai
manusia pribadi
yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan
serta perlindungan yang sama
sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”,
serta “setiap orang
berhak mendapat
bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan
tidak berpihak”.
Dalam peraturan hukum pidana,
akses terhadap perlindungan hukum sudah tampak terbuka.
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) telah mengatur dengan
rinci bagaimana pengadilan perkara
pidana dilakukan, dan
biayanya pun
murah. Akses terhadap pembelaan secara hukum juga terbuka, misalnya hak
didampingi penasihat
hukum bahkan juga secara cuma-cuma.
Dalam ranah perdata, terdapat
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat yang menjamin pembebasan biaya bagi para pencari
keadilan yang tidak mampu. Undang-undang ini juga ditujang oleh PP 83 tahun
2008 yang mengatur tentang tatacara pemberian bantuan hokum Cuma-Cuma.
Seluruh instrument hukum ini menunjang bahwa Indonesia,
hak memperoleh bantuan hokum merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak akses
kepada keadilan merupakan salah satu dari beberapa unsure hak untuk mendapatkan
peradilan yang fair. Walaupun demikian, dalam kreuzv. Poland, ECHR memutuskan
bahwa hak aksesibilitas ini bukanlah hak yang absolute dan Negara dapat membuat
beberapa batasan hanya apabila ada tujuan yang pantas dan proporsional. Akan
tetapi, salah satu pembatasan riil yang mungkin dapat memengaruhi hak
aksesibilitas ke pengadilan adalah ongkos perkara yang berlebihan.
Hambatan-hambatan dalam pemenuhan hak akses keadilan
Hambatan-hambatan yang bersifat normative ini juga
disertai oleh beberapa hambatan yang bersifat praktis seperti tingginya biaya perkara
dan ketidakpahaman hasil penelitian yang membuktikan bahawa hambatan-hambatan
praktis juga terdapat dalam system peradilan perdata Indonesia.
Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap badan
peradilan untuk menyelesaikan perkara perdata bernilai kecil
Diagram dibawah ini menunjukan berapa persen perubahan
sikap yang terjadi. Diagram ini tidak memfokuskan pada perubahan sikap per
responden, tetapi perubahan sikap secara keseluruhan.
Diagram 2
Kesediaan Responden
Mengajukan Sengketan Ke Peradilan (%)
Sumber
: data analisis 2011
Dari
diagram diatas, terlihat bahwa setelah dipaparkan informasi, jumlah reponden
yang menolak untuk pergi ke pengadialan untuk melitigasi perkara senilai
maksimal limabelas juta rupiah naik 13%, adapun yang bersedian memperjuangkan
perkara ke pengadilan turun 15 %. Ini sepertinya diakibatkan oleh kompleksitas
dan mahalnya biaya perkara yang harus dikeluarkan. Dibawah ini merupakan
diagram yang secara mendalam memperlihatkan rincian perubahan sikap responden
secara individual.
Diagram 2
Perubahan Kesediaan
Responden Mengajukan Sengketan Keperadilan (%)
Sumber : data
dianalisis 2011
Diagram diatas juga
menunjukan bahwa 66% dari responden yang awalnya bersedia pergi ke pengadilan
berubah pikiran menjadi tidak bersedia setelah dipaparkan prosedur dan rincian
biaya pelaksanaan perkara. Adapun responden yang secara konsisten mau
mengajukan perkara kepengadilan hanya sejumlah 9% dan yang berubah pikiran
menjadi bersedia mengajukan perkara adalah sebanyak 4% saja.
Diagram tersebut
menunjukan bahwa sebagian besar responden menginginkan jalur pengadilan
atas ketidaktahuannya, dan paparan
informasi membuat mereka cenderung tidak menginginkannya lagi karena biaya dan
upaya yang tidak sepadan dengan hasil.
Data
dari survey Model A di atas disuplemenkan dengan data yang berasal dari
wawacara dengan narasumber Ibu Siti Aminah, Sekretaris paguyuban Manunggal
Karyo dipasar Beringharjo yang menjelaskan bahwa dalam praktiknya, walaupun
tidak pernah terjadiperselisihan yang cukup berarti sehingga menjadi perhartian
paguyuban, beliau sebagai sekretaris paguyuban akan bersedia untuk mencoba
menengahi atau melerai [erselisihan. Pihak paguyuban akan melakukan personal
approach terhadap pihak berselisih atau bersengketa sehingga kompromi dapat
tercapai. Narasumber menolak usulan untuk membawa sengketa antarpedagang ke
pengadilan dengan alas an rumitnya prosedur beracara yang ia sendiri tidak
begitu paham.
Daftar Pustaka
Amiruddin dan Zainal Asikin,
Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.
van Apeldoorn, L. J., Pengantar Ilmu
Hukum (terj., Inleiding
tot de Studie van het
Nederlandse
Recht), Pradnya Paramita, Jakarta, 2008.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008.
Fuady, Munir, Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Harahap, Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Perdata, PT Gramedia, Jakarta,
1991.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Mertokusumo, Sudikno,
Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993. Prayudi, Guse, Kajian tentang
Biaya
dalam Perkara Pidana, tnp. th., diunduh dari http:/
/www.scribd.com/doc/35081367/Kajian-Tentang-Biaya-Dalam-Perkara-Pidana
pada 27 Juni 2011.
Soekanto, Soerjono, Pengantar
Penelitian Hukum, UI-Press, Depok, 1984.
Supreme Court of Japan, “Outline of
Civil Litigation in Japan”, 2006,
diunduh dari
http://www.courts.go.jp/english/proceedings/civil_suit.html pada 24 Juni 2011.
Sutiyoso, Bambang, “Relevansi
Kebenaran Formil
dalam Pembuktian
Perkara
Perdata di Indonesia”, dalam Jurnal Fenomena Vo. 1 No. 2, DPPM UII, 2003.
Winarta, Frans Hendra, Bantuan Hukum di Indonesia: Hak untuk Didampingi Penasihat
Hukum bagi Semua Warga Negara, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2011.
Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, Staatsblad 23/1847
diumumkan pada 1847. Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Memberi Keadilan Bagi Para
Pencari
Keadilan: Sebuah Laporan Penelitian tentang Akses dan Kesetaraan pada
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di
Indonesia Tahun 2007-2009”, Laporan Penelitian, 2010.
, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035,
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2010,
diunduh dari http://www.pembaruanperadilan.net /images/stories/2. isi cetak biru.pdf pada 21 Juni 2011.
, “Sekapur Sirih Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia”, dalam Laporan Tahunan Mahkamah
Agung RI Tahun 2010, diunduh dari
http:// www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2010.pdf pada 27 Juni 2011.
Pengadilan Negeri Surakarta, Biaya Perkara
Perdata, diunduh dari http://pn-
surakarta.go.id/index .php?option=com_content&view=article&id=54:biaya-perkara-
perdata&catid=16:tentang-kami& Itemid=132 pada 22 Juni 2011.
Pengadilan Negeri Yogyakarta, Panjar Biaya Perkara Perdata, diunduh dari http:// www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/component/content/article/10-info-perkara/22-biaya-
perkara.html pada 22 Juni 2011.
PERMA Nomor 1 Tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1
Tahun
1980 Yang Disempurnakan,
ditetapkan pada 11
Maret 1982.
PERMA Nomor 1
Tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan, ditetapkan pada 31
Juli 2008.
PP Nomor 83
Tahun
2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum Secara Cuma-Cuma, LNRI 2008/214, TLNRI 4955, ditetapkan pada
30 Desember 2008.
Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 52/1847
jo. 63/1849.
SEMA Nomor 3
Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara, ditetapkan pada 10
September 1998.
SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian
Bantuan Hukum,
dikeluarkan pada 30 Agustus 2010.
SEMA Nomor 17
Tahun
1983 tentang Biaya Perkara Pidana,
dikeluarkan pada 8
Desember 1983.
UU Darurat Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan dan
Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, diundangkan pada 14
Januari 1950.
UUD NRI Tahun 1945.
UU Nomor 3
Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA, LNRI 2009/3, TLNRI 4958, diundangkan pada 12
Januari 2009.
UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, LNRI 1999/165, TLNRI 3886, diundangkan pada 23 September 1999.
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LNRI 2009/157, TLNRI
5076, diundangkan pada 29 Oktober 2009.
UU Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, LNRI
1981/76, TLNRI 3209, diundangkan pada 31 Desember 1981.
Nama
Kelompok :
- Hamzah Mutakin ( 23212274 )
- Muhammad Nur Alfajri ( 25212023 )
- Dana Achmadi ( 21212664 )
- Viki Setiadi ( 27212585 )
Kelas
: 2EB08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar