Kamis, 17 April 2014

Hambatan aksesibilitas masyarakat terhadap hak keadilan perdata



Hambatan aksesibilitas masyarakat terhadap hak keadilan perdata

Fajri Matahati Muhammadin
Risky Wirastomo
Tata Wijayanta
Fakultas Huku Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Jl. Sosio Justicia Bulaksumur Yogyakarta


Hak Akses  ke Keadilan  Merupakan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok  yang dibawa manusia sejak lahir. Hak  asasi  ini menjadi dasar penentuan hak  dan  kewajiban bagi  orang  lain, sebagaimana diungkapkan juga  dalam United Nations Declarations of Human Rights (selanjutnya, UNDHR) dan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Dari perspektif lain, kehadiran tentara dan polisi untuk menjaga keamanan dan perdamaian baik di dalam maupun luar negeri juga merupakan bentuk perwujudan pemenuhan hak asasi manusia masyarakat.
Undang Undang Dasar  Negara Republik Indonesia 1945 telah  mengatur hak  untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam Pasal 28D ayat. Di level statutory regulation, Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 mengatur bahwa “setiap orang  berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan  perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”, “setiap orang  diakui sebagai  manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta  perlindungan yang  sama  sesuai  dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”, serta “setiap orang  berhak mendapat bantuan dan  perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan  tidak  berpihak”.
Dalam  peraturan hukum pidana, akses  terhadap perlindungan hukum sudah tampak terbuka. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) telah  mengatur dengan rinci bagaimana pengadilan perkara pidana dilakukan, dan  biayanya pun  murah. Akses  terhadap pembelaan secara  hukum juga  terbuka, misalnya hak  didampingi penasihat hukum bahkan juga secara cuma-cuma.
Dalam  ranah perdata, terdapat Undang-Undang No.  18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menjamin pembebasan biaya bagi para  pencari keadilan yang tidak mampu. Undang-undang ini juga ditujang oleh PP 83 tahun 2008 yang mengatur tentang tatacara pemberian bantuan hokum Cuma-Cuma.
Seluruh instrument hukum ini menunjang bahwa Indonesia, hak memperoleh bantuan hokum merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak akses kepada keadilan merupakan salah satu dari beberapa unsure hak untuk mendapatkan peradilan yang fair. Walaupun demikian, dalam kreuzv. Poland, ECHR memutuskan bahwa hak aksesibilitas ini bukanlah hak yang absolute dan Negara dapat membuat beberapa batasan hanya apabila ada tujuan yang pantas dan proporsional. Akan tetapi, salah satu pembatasan riil yang mungkin dapat memengaruhi hak aksesibilitas ke pengadilan adalah ongkos perkara yang berlebihan.
Hambatan-hambatan dalam pemenuhan hak akses keadilan
Hambatan-hambatan yang bersifat normative ini juga disertai oleh beberapa hambatan yang bersifat praktis seperti tingginya biaya perkara dan ketidakpahaman hasil penelitian yang membuktikan bahawa hambatan-hambatan praktis juga terdapat dalam system peradilan perdata Indonesia.
Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan untuk menyelesaikan perkara perdata bernilai kecil
Diagram dibawah ini menunjukan berapa persen perubahan sikap yang terjadi. Diagram ini tidak memfokuskan pada perubahan sikap per responden, tetapi perubahan sikap secara keseluruhan.



Diagram 2
Kesediaan Responden Mengajukan Sengketan Ke Peradilan (%)

Sumber : data analisis 2011
Dari diagram diatas, terlihat bahwa setelah dipaparkan informasi, jumlah reponden yang menolak untuk pergi ke pengadialan untuk melitigasi perkara senilai maksimal limabelas juta rupiah naik 13%, adapun yang bersedian memperjuangkan perkara ke pengadilan turun 15 %. Ini sepertinya diakibatkan oleh kompleksitas dan mahalnya biaya perkara yang harus dikeluarkan. Dibawah ini merupakan diagram yang secara mendalam memperlihatkan rincian perubahan sikap responden secara individual.
Diagram 2
Perubahan Kesediaan Responden Mengajukan Sengketan Keperadilan (%)
Sumber : data dianalisis 2011
Diagram diatas juga menunjukan bahwa 66% dari responden yang awalnya bersedia pergi ke pengadilan berubah pikiran menjadi tidak bersedia setelah dipaparkan prosedur dan rincian biaya pelaksanaan perkara. Adapun responden yang secara konsisten mau mengajukan perkara kepengadilan hanya sejumlah 9% dan yang berubah pikiran menjadi bersedia mengajukan perkara adalah sebanyak 4% saja.
Diagram tersebut menunjukan bahwa sebagian besar responden menginginkan jalur pengadilan atas  ketidaktahuannya, dan paparan informasi membuat mereka cenderung tidak menginginkannya lagi karena biaya dan upaya yang tidak sepadan dengan hasil.
Data dari survey Model A di atas disuplemenkan dengan data yang berasal dari wawacara dengan narasumber Ibu Siti Aminah, Sekretaris paguyuban Manunggal Karyo dipasar Beringharjo yang menjelaskan bahwa dalam praktiknya, walaupun tidak pernah terjadiperselisihan yang cukup berarti sehingga menjadi perhartian paguyuban, beliau sebagai sekretaris paguyuban akan bersedia untuk mencoba menengahi atau melerai [erselisihan. Pihak paguyuban akan melakukan personal approach terhadap pihak berselisih atau bersengketa sehingga kompromi dapat tercapai. Narasumber menolak usulan untuk membawa sengketa antarpedagang ke pengadilan dengan alas an rumitnya prosedur beracara yang ia sendiri tidak begitu paham.





Daftar Pustaka
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta,  2004.
van  Apeldoorn, L. J., Pengantar Ilmu  Hukum  (terj., Inleiding tot de Studie van het
Nederlandse Recht), Pradnya Paramita, Jakarta, 2008.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,  2008.
Fuady, Munir, Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Harahap, Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Perdata, PT Gramedia, Jakarta,
1991.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,  Yogyakarta, 1993. Prayudi, Guse, Kajian tentang Biaya dalam Perkara Pidana, tnp. th., diunduh dari http:/
/www.scribd.com/doc/35081367/Kajian-Tentang-Biaya-Dalam-Perkara-Pidana
pada 27 Juni 2011.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Depok, 1984.
Supreme Court  of Japan, “Outline of Civil Litigation in Japan”,  2006, diunduh dari
http://www.courts.go.jp/english/proceedings/civil_suit.html pada 24 Juni 2011.
Sutiyoso,  Bambang, “Relevansi Kebenaran Formil  dalam Pembuktian Perkara
Perdata di Indonesia”, dalam Jurnal Fenomena Vo. 1 No. 2, DPPM UII, 2003.
Winarta, Frans Hendra, Bantuan Hukum di Indonesia: Hak untuk Didampingi Penasihat
Hukum bagi Semua Warga Negara, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2011.
Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, Staatsblad 23/1847 diumumkan pada 1847. Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Memberi Keadilan Bagi Para  Pencari
Keadilan: Sebuah  Laporan Penelitian tentang Akses  dan  Kesetaraan pada Pengadilan Negeri  dan Pengadilan Agama di Indonesia Tahun 2007-2009”, Laporan Penelitian, 2010.
            , Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung RI, Jakarta,  2010, diunduh dari  http://www.pembaruanperadilan.net  /images/stories/2. isi cetak biru.pdf pada 21 Juni 2011.
            , “Sekapur Sirih Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia”, dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung  RI Tahun 2010, diunduh dari  http:// www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2010.pdf pada 27 Juni 2011.
Pengadilan Negeri  Surakarta, Biaya Perkara Perdata, diunduh dari  http://pn- surakarta.go.id/index .php?option=com_content&view=article&id=54:biaya-perkara- perdata&catid=16:tentang-kami& Itemid=132 pada 22 Juni 2011.
Pengadilan Negeri  Yogyakarta, Panjar Biaya Perkara Perdata, diunduh dari  http:// www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/component/content/article/10-info-perkara/22-biaya- perkara.html pada 22 Juni 2011.
PERMA Nomor 1 Tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1980 Yang Disempurnakan, ditetapkan pada 11 Maret  1982.
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, ditetapkan pada 31 Juli 2008.
PP Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan  Tata Cara  Pemberian Bantuan
Hukum Secara Cuma-Cuma, LNRI 2008/214, TLNRI 4955, ditetapkan pada
30 Desember 2008.
Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 52/1847 jo. 63/1849.
SEMA Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara, ditetapkan pada 10
September 1998.
SEMA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, dikeluarkan pada 30 Agustus 2010.
SEMA Nomor 17 Tahun 1983 tentang Biaya Perkara Pidana, dikeluarkan pada 8
Desember 1983.
UU Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk  Menyelenggarakan Kesatuan Susunan dan  Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, diundangkan pada 14 Januari 1950.
UUD NRI Tahun 1945.
UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua  atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA, LNRI 2009/3, TLNRI 4958, diundangkan pada 12 Januari 2009.
UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, LNRI 1999/165, TLNRI 3886, diundangkan pada 23 September 1999.
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LNRI 2009/157, TLNRI
5076, diundangkan pada 29 Oktober 2009.
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, LNRI
1981/76, TLNRI 3209, diundangkan pada 31 Desember 1981.




Nama Kelompok :
  1. Hamzah Mutakin                    ( 23212274 )
  2. Muhammad Nur Alfajri          ( 25212023 )
  3. Dana Achmadi                        ( 21212664 )
  4. Viki Setiadi                             ( 27212585 )
Kelas : 2EB08

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar